contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Sabtu, 08 Mei 2010

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan

kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal."

Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren

Mangkuyudan Solo dulu"

kata ibu.

"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan

untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu"

, ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku

menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi

mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan

diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun

sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu

saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan

impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa

berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah

(lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia

memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama

sekali.

Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi

bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,

mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan

Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung

melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di

hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit

cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.

Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa

tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group rebana. Lantunan

shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum

manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta.

Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas

baktiku pada ibuku yang kucintai.

Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya

sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.

Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan

kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir

kota Malang .

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah

hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama

dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit

cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya

yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup

bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku

mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri

sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana

mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur

pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.

Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,

pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama,

karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab "

tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus

belajar berumah tangga" Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana

ketika kupanggil 'mbak', " kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu,

apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang

sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca

Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk

kakiku, "Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri

kenapa mas ucapkan akad nikah?

Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan,

kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus

bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit

hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan

ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis

menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari

terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup

seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya

untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis

maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas

kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada

janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak

apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas

saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih" lanjutnya. Aku

melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap" kata Raihana.

Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa

membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa

handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas

dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan

memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. " Mas

masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam,

minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. "Mas

jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk

membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku lirih. " Kalau begitu kaos

mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil tangannya

melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana

dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.

Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang

hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana

duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran

dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi

tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku

untuk makan malam di istananya." Aku punya keponakan namanya Mona Zaki,

nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. " Dia

memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan

berniat memperkenalkannya denganmu". Aku mempersiapkan segalanya. Tepat

puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian

pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi

yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba " Mas, bangun, sudah

jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana membangunkanku.

Aku terbangun dengan perasaan kecewa. " Maafkan aku Mas, membuat Mas

kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas

mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi

tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka

sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia

bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu

dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku

benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai

Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah

pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan

datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng,

tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang" Suara

lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm.

Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan

segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. "

Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu

perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh

maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau

tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!"

sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan

menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia

bahagia dipanggil "dinda". " Matanya sedikit berbinar. "Te..terima kasih

Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya

Allah," ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum

bersinar dibibirnya. " Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau

pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang

memilihkan ya?".

Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan

bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku

belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku.

Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah,

lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki

diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun

cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura

titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi

orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana

membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana,

kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh

bangga. "

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling

ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia

mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya

berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut

pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan

terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal

bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta

yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi

memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik

meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki

Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget

oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata

keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali

menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia

mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing

dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang

menyindir tentang keturunan. " Sudah satu tahun putra sulungku menikah,

koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu"

kata ibuku. " Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,

doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut

lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana.

Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur,

aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku

sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa.

Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil.

Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak

kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera.

Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak

kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung

jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih. " Entahlah, betapa sulit

aku menemukan cinta" gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan

ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan

alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya.

Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak

menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku

pamitan, Raihana berpesan, " Mas untuk menambah biaya kelahiran anak

kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah

bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari

Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa

sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan

segalanya.

Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di

Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat

aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku

benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut

mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah

menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin

dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi

tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan

menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada

penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh.

Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan

sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus.

Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan

mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah

professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan

beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak

Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan . Dia menempuh S1-nya di

Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan

terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi.

"Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan orang mana?. " Orang Jawa". "

Pasti orang yang baik ya. Iya kan ? Biasanya pulang dari Mesir banyak

saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling

tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". "Pernah,

alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran". " Kau sangat beruntung,

tidak sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan langkah yang

salah,

seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku

tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana itu bisa terjadi?". "

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena terpesona

dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya

seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir

dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,

orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya

lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari

Indonesia .

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah

tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya

yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya

jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya

bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata

perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar

oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak

tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih

yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan

begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari

mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu

lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya.

Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya

berhasil menikahi YAsmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.

Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai

S1 saya kembali ke Medan , saya minta agar asset yang di Mesir dijual

untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah

di kota Medan . Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap

tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa

memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup

semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak

bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi

tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak

terpenuhi.

Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai

muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir

yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan

ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak

mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rendang, saya

harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia .

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan

namanya.

Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan

saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin

untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah

membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.

Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah

diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit,

ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya

mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis.

Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang

bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak

ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. " Aku

menyesal menikah dengan orang Indonesia , aku minta kau ceraikan aku, aku

tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir".

Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia

bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya

itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku

pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya

dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya

yang membelaku.

Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita

bohong.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya

mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah

Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung

menggigau meminta ibunya pulang".

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan

hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya

terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya.

Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat

shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah

pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan

istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah

Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana

sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi

melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan

tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin

membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin

memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak

langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang

tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan

kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta

siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku.

Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila!

Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu

persatu. Dan Rabbi�?�ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati

Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian

mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk

menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia

meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan

doa untuk

kebaikan suaminya.

Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal

hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan

karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam

jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri

hamba" tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang

kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan

derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu

ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami

hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa

cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang

apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang,

ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada

suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena

kelalaiannya.

Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta

hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk

tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba

sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya

dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah

doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha

Suci Engkau".

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang

luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana

terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan

pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang

halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan

haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari

langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah

memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan

cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya

Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya.

Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang

menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris

tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku.

Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu.

Aku jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya

menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah

terjadi.

" Raihanaï...istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya" . " Ada

apa dengan dia". " Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu

telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami

membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum

meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan

kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf

telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau

meridhionya" .

Hatiku bergetar hebat. " kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". "

Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang

untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke

kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin

mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu

ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat

sedih, Jadi Maafkanlah kami".

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku

merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus

dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia

telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku

untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku

dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru

dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan.

Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa

cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana

hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ........



Sumber :

Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra

Karangan : Habiburrahman El Shirazy

1 komentar:

Posting Komentar

Saya ?

Foto saya
Perempuan biasa. Lebih simpel dari perempuan kebanyakan. Miskin dalam berekspresi. Ga begitu suka baca buku, apa lagi nulis. Hehehe.... Belajar, kita bisa belajar dari mana saja...^^

Links

Followers