Palembang, 25 Mei 2010
Istri saya…..Selamat nambah umur baru….
Walaupun saya gak pernah hapal tanggal ulang tahun kamu sebelum sebelum kemarin saya liat potocopy-an akta nikah kita. Dan tiada kejutan yang bisa saya berikan ke kamu (apalagi kado) layaknya pasangan2 muda di Bandung yang lagi indehoy, mungkin satu2nya kejutan dari saya yaaa cuma ini (“kaget punya suami yang tau istrinya ultah dari notif pesbus”).
Saya tahu kamu kesel seharian ini,mungkin antara keselnya bimbingan skripsit, kesel masalah Haid (waaahh…kirain terlambat bulan :P), kesel dicuekin suami, dan kesel gak dikasih kado. Tapi semoga aja abis baca note ini kamu gak tambah kesel…..kalo kamu bilang aku yang “basi” banget kayak nasi belom diangetin…yaah inilah suami kamu apa adanya….semoga cinta kamu gak bakal berubah layaknya baru pertama kali nerima lamaran saya.. =)
Terhitung 70 hari kita berumah tangga, terikasih dan Alhamdulillah Jaza Killahi khoiro udah jadi orang yang super duper ultimate dahsyat sabarnya buat saya dan maafkan saya sering menjadi orang yang menyebalkan buat kamu, bahkan sejak baru bangun tidur saya udah ngrengek minta dibeliin bubur ayam… :P atau ngeledek2in kamu kalo saya pengen poligamiin Arumi Bachsin sampe mata kamu berkaca-kaca
Kalo ada orang lain ngasih kado ke kamu, dan selalu ngasih ucapan selamat ulang tahun…..percayalah sayang, sayalah yang selalu mengirimkan kado yang goib2 (bukan pelet dan santet) buat kamu tiap hari, doa saya selalu untuk kamu, tiap saat…..tiap sholat juga didoain, setiap perjalanan ke sekolah (bolak balik 120 km)juga saya doain, buka puasa saya doain…pokoknya selain masukk WC dan pengen pipis saya terus doain kamu…
Lagian gaji saya udah dikirim (hampir)semua ke kamu……kalo masih kurang sabar dulu yaaa..
Kamu tau sayang…kadang kita sangat berbeda satu sama lain, selain beda kelamin yang sangat signifikan,sifat kita sangat jauh berbeda antara lembang dan ujung berung. Kamu yang begitu pendiam dan tenang dan saya yang panikan dan bikin panik, ibarat Sohokgi bilang “kita begitu berbeda dengan semua,kecuali dengan duit”…..(sape juga yang gak mau duit???)
Udah dulu yaa sayang….nanti kalo kelamaan bacanya nanti kamu makin laper,kalo laper kamu gendut,kalo gendut kamu makannya banyak,kalo makannya banyak sape yang susah ngumpanin kamu??
Saya juga khan?
Love u babe
*ps: okeh…agak alay,tapi setidaknya halal2 aje ngenote gini buat bini gue sendiri
Malem minggu ya?. Qo ga berasa ya?.
Posted in : Sehari-hari
When i get older, they’ll call me freedom
Just like a Waving Flag.
When I get older, I will be stronger,
They’ll call me freedom, just like a Waving Flag,
And then it goes back, and then it goes back,
And then it goes back
Born to a throne, stronger than Rome
but Violent prone, poor people zone,
But it’s my home, all I have known,
Where I got grown, streets we would roam.
But out of the darkness, I came the farthest,
Among the hardest survival.
Learn from these streets, it can be bleak,
Except no defeat, surrender retreat,
So we struggling, fighting to eat and
We wondering when we’ll be free,
So we patiently wait, for that fateful day,
It’s not far away, so for now we say
So many wars, settling scores,
Bringing us promises, leaving us poor,
I heard them say, love is the way,
Love is the answer, that’s what they say,
But look how they treat us, Make us believers,
We fight their battles, then they deceive us,
Try to control us, they couldn’t hold us,
Cause we just move forward like Buffalo Soldiers.
But we struggling, fighting to eat,
And we wondering, when we’ll be free
So we patiently wait, for that faithful day,
It’s not far away, but for now we say,
(Ohhhh Ohhhh Ohhhhh Ohhhh)
And everybody will be singing it
(Ohhhh Ohhhh Ohhhhh Ohhhh)
And you and I will be singing it
(Ohhhh Ohhhh Ohhhhh Ohhhh)
And we all will be singing it
(Ohhh Ohh Ohh Ohh)
When I get older, when I get older
I will be stronger, just like a Waving Flag,
Just like a Waving Flag, just like a Waving flag
Flag, flag, Just like a Waving Flag
Posted in : lirik lagu
Kau tak sepenuhnya sendiri
Aku ‘kan slalu ada di sini
Mengapa oh mengapa dirimu
Penuh dengan rasa bimbang
Tak perlu kau pergi ‘tuk mencari
Mencari arti cinta
Reff:
Aku sendiri di sini menunggu
Aku sendiri di sini menanti
Aku tak terbiasa untuk berharap
Berlari untuk mengejar dirimu
Dalam menggapai semua impiku
Semoga kau ‘kan tetap jadi apa yang ku inginkan
Mengapa oh mengapa dirimu
Penuh dengan rasa bimbang
Tak perlu kau pergi ‘tuk mencari
Mencari arti cinta
Back to Reff:
Jangan pernah berubah
Ingat janjimu
Jangan pernah menghilang
Dari hatiku
Back to Reff:
Posted in : lirik lagu
Mengapa engkau waktu itu
Putuskan cintaku
Dan saat ini engkau selalu ingin bertemu
Dan memulai jalin cinta
reff:
Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
Engkau di sana, aku di sini
Mesti hatiku memilihmu
Andai aku bisa
ingin aku memelukmu lagi
di hati ini hanya engkau mantan terindah
yang selalu ku rindukan
back to reff
Engkau meminta padaku
Untuk mengatakan bila ku berubah
Jangan pernah kau ragukan
Engkau kan selalu di langkahku
back to reff
Engkau di sini, aku di sini
Mesti hatiku memilihmu
Yang tlah kau buat
sungguhlah indah
buat diriku susah lupa
Posted in : lirik lagu
Aku terbakar cemburu
Cemburu buta
Tak bisa ku padamkan amarah dihatiku
Sakit menahan sakit hati
Menyimpan perih
Tak bisa ku terima apa yang ku alami
Ibaratnya jantung hati
Tersayat pedang tajam
Betapa sakitnya
Ku rasakan itu
Dan kini aku tahu ku sangat
Begitu dalamnya aku sungguh mencintaimu
Mungkin selama ini ku salah
Tak pernah pedulikanmu setulusnya hatiku
Ku akui ternyata
Sakitnya membakar hati
Sudah membuatmu pergi
Kini hanya tinggalkan luka
Begitu dalamnya aku sungguh mencintaimu
Mungkin selama ini aku salah
Tak pernah pedulikanmu setulusnya hatiku
Mungkin selama ini ku salah
Posted in : lirik lagu
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan
kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal."
Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren
Mangkuyudan Solo dulu"
kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan
untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu"
, ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan
diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu
saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan
impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa
berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah
(lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia
memang baby face dan anggun.
Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama
sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi
bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung
melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit
cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.
Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa
tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group rebana. Lantunan
shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum
manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta.
Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas
baktiku pada ibuku yang kucintai.
Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya
sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir
kota Malang .
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah
hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama
dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit
cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya
yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup
bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku
mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri
sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana
mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur
pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.
Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,
pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab "
tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus
belajar berumah tangga" Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana
ketika kupanggil 'mbak', " kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu,
apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang
sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca
Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk
kakiku, "Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri
kenapa mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus
bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit
hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan
ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis
menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari
terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup
seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya
untukku.
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas
kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada
janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak
apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas
saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih" lanjutnya. Aku
melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap" kata Raihana.
Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa
membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa
handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas
dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan
memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. " Mas
masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam,
minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. "Mas
jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk
membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku lirih. " Kalau begitu kaos
mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil tangannya
melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana
dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang
hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana
duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran
dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi
tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku
untuk makan malam di istananya." Aku punya keponakan namanya Mona Zaki,
nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. " Dia
memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan
berniat memperkenalkannya denganmu". Aku mempersiapkan segalanya. Tepat
puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian
pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi
yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba " Mas, bangun, sudah
jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana membangunkanku.
Aku terbangun dengan perasaan kecewa. " Maafkan aku Mas, membuat Mas
kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas
mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi
tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka
sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia
bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu
dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku
benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai
Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah
pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan
datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng,
tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang" Suara
lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan
segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. "
Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu
perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh
maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau
tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!"
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia
bahagia dipanggil "dinda". " Matanya sedikit berbinar. "Te..terima kasih
Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya
Allah," ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum
bersinar dibibirnya. " Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau
pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang
memilihkan ya?".
Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan
bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku.
Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah,
lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki
diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun
cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura
titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi
orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana,
kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh
bangga. "
Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling
ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia
mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya
berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut
pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta
yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi
memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki
Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget
oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata
keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia
mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing
dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang
menyindir tentang keturunan. " Sudah satu tahun putra sulungku menikah,
koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu"
kata ibuku. " Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,
doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut
lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana.
Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur,
aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku
sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa.
Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil.
Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera.
Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak
kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana tanggung
jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih. " Entahlah, betapa sulit
aku menemukan cinta" gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan
ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan
alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya.
Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak
menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku
pamitan, Raihana berpesan, " Mas untuk menambah biaya kelahiran anak
kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah
bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari
Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa
sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di
Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat
aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku
benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut
mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin
dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi
tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan
menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada
penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh.
Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan
sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan
mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah
professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan
beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak
Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan . Dia menempuh S1-nya di
Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan
terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan orang mana?. " Orang Jawa". "
Pasti orang yang baik ya. Iya kan ? Biasanya pulang dari Mesir banyak
saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling
tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?". "Pernah,
alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran". " Kau sangat beruntung,
tidak sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan langkah yang
salah,
seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku
tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana itu bisa terjadi?". "
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena terpesona
dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya
seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir
dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya
lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari
Indonesia .
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya
yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya
jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya
bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. Ternyata
perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar
oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak
tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih
yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan
begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari
mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu
lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya.
Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya
berhasil menikahi YAsmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai
S1 saya kembali ke Medan , saya minta agar asset yang di Mesir dijual
untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup mewah
di kota Medan . Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa
memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup
semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak
bertambah. Saya minta YAsmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi
tiga tahun sekali YAsmin tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi.
Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai
muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir
yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan
ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak
mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rendang, saya
harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia .
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan
namanya.
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan
saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin
untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah
membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya.
Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit,
ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya
mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis.
Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang
bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak
ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. " Aku
menyesal menikah dengan orang Indonesia , aku minta kau ceraikan aku, aku
tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir".
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia
bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya
itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku
pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya
dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya
yang membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita
bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya
mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah
Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung
menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya
terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya.
Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat
shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah
pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan
istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah
Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana
sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi
melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan
tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin
memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak
langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang
tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan
kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta
siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku.
Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila!
Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu
persatu. Dan Rabbi�?�ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati
Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian
mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk
menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia
meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan
doa untuk
kebaikan suaminya.
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal
hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan
karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam
jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri
hamba" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang
kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan
derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu
ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami
hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa
cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang
apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang,
ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada
suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena
kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta
hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk
tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba
sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya
dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah
doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha
Suci Engkau".
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang
luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana
terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang
halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan
haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari
langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah
memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan
cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya
Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya.
Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang
menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris
tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu.
Aku jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana Bu?". Ibu mertua hanya
menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah
terjadi.
" Raihanaï...istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya" . " Ada
apa dengan dia". " Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu
telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum
meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan
kekhilafannya selama menyertaimu.
Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf
telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau
meridhionya" .
Hatiku bergetar hebat. " kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". "
Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke
kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu
ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat
sedih, Jadi Maafkanlah kami".
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus
dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia
telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku
untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku
dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru
dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan.
Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa
cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana
hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ........
Sumber :
Buku : Pudarnya Pesona Cleopatra
Karangan : Habiburrahman El Shirazy
Posted in : cerita